Inilah kisah sukses H. Bustaman, membangun bisnis franchise Rumah Makan Padang Sederhana.
Lahir dan dibesarkan di Lubuk Jantan, Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat, Bustaman remaja
memutuskan untuk merantau ke Jambi pada 1955. Bagi masyarakat Minang,
pergi keluar dari kampung kelahirannya sudah menjadi tradisi. Di Jambi,
Bustaman yang hanya lulusan kelas dua sekolah rakyat (setara SD) mengadu
nasib dengan bekerja apa saja. Mulai dari bekerja di kebun karet,
menjual koran, mencuci piring di sebuah rumah makan hingga menjadi
pedagang asongan.
Pada 1970, Bustaman rupanya tertantang
mengadu nasib di ibu kota Jakarta. Padahal, ia baru saja dua tahun
menikah dengan Fatimah dan dikaruniai seorang anak. "Saya ikut dengan
adik ipar di daerah Matraman, Jakarta Pusat," tutur Bustaman. Pilihan
saat itu adalah berdagang rokok dengan menggunakan gerobak di pinggir
jalan.
Sebuah peristiwa yang melibatkan perseteruan antara
etnis Minang dengan preman setempat pada 1975, membuat Bustaman terpaksa
menyelamatkan diri dan keluarganya ke wilayah Pejompongan. “Pokoknya
akibat peristiwa tersebut, kami suku Minang terancam keselamatannya,”
tutur Bustaman. Di Pejompongan, Bustaman tetap membuka warung rokok
selama 24 jam dengan penghasilan harian sebesar Rp2.000. “Padahal waktu
di Matraman penghasilan saya bisa Rp8.000,” tambahnya.
Kondisi
tersebut membuat Bustaman berpikir untuk mencari penghasilan tambahan
dengan berjualan makanan. Ia lalu mencari lahan pinggir jalan di daerah
Bendungan Hilir. “Saya menyewa lapak seluas satu kali satu meter di
pinggir jalan seharga Rp3.000,” kata Bustaman. “Masalahnya, saya tidak
bisa memasak, tetapi berbekal pengalaman pernah bekerja di rumah makan,
saya belajar.”
Di hari pertama, dagangannya hanya menghasilkan
omset Rp425 dari modal awal sebesar Rp13.000. “Saya juga mengutang
beras, minyak dan beberapa kebutuhan lain kepada tetangga,” kata
Bustaman. “Sialnya, hasil dagangan itu ludes dibawa lari pembantu baru
kami.”
Peristiwa itu tidak lekas membuat Bustaman putus asa. Ia
tetap menjalankan usaha warung kecilnya. Satu minggu kemudian ia
berkenalan dengan pedagang masakan lain asal Solok, Sumatra, yang
membuka warung di Bendungan Hilir. “Saya coba masakannya ternyata enak,”
tutur Bustaman. “Saya lalu memberanikan diri berkenalan dengan
pemasaknya dan meminta resep masakan.”
Dengan menu baru
tersebut, warung kecil Bustaman semakin kedatangan banyak pelanggan.
“Cobaan datang kembali saat terjadi penertiban pedagang kaki lima oleh
Satpol PP,” cerita Bustaman. “Gerobak dagangan saya diangkut.”
Bustaman kemudian membuka kembali warung di lahan yang sudah ditetapkan
oleh pemerintah Jakarta. “Harga beli lapaknya sebesar Rp750 per lapak,”
kata Bustaman. “Saya beli dua lapak di lahan yang saya inginkan.”
Karena satu orang hanya boleh memiliki satu lapak, maka Bustaman
meminjam nama pamannya untuk membeli lapak di sebelahnya. Warung
Bustaman terus ramai didatangi pelanggan. Sedang asyik menikmati untung,
cobaan datang lagi. “Kali ini masalah datang dari tante saya karena
masalah utang piutang,” ujar Bustaman. “Awal membuka lapak baru saya
memang meminjam uang sebesar Rp15.000 kepada Tante, tetapi itu sudah
saya bayar,” tutur Bustaman. Urusan sengketa ini bahkan melibatkan
kepolisian. “Rupanya Tante ingin memiliki lapak saya karena dilihatnya
laris,” lanjutnya.
Bustaman akhirnya mengalah melepas lapak
tersebut dan membeli lapak baru tepat di seberang lapak lama. Tuhan
memang Maha Adil, warung barunya tetap lebih laris dari warung tantenya.
“Baru sebentar menikmati rezeki, musibah datang kembali,” kata
Bustaman. “Tempat tinggal saya di Pejompongan terbakar.”
Yang
bisa diselamatkan Bustaman hanya istri, anak dan gerobak dagangnya.
“Saya lalu tinggal di rumah salah satu suplier bahan masakan saya,”
tutur Bustaman. Ia mulai menyewa kios ketika Pasar Bendungan Hilir
dibangun pada 1974 dengan harga sewa Rp15.000. “Tahun 1975 saya membuka
cabang di Roxy mas,” katanya.
Kini Bustaman sudah bisa menikmat
hasil jerih payahnya. Rumah Makan Padang Sederhana miliknya sudah
tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia hingga Malaysia, baik atas
nama sendiri maupun investor melalui sistem franchise.
Ada
cerita unik di balik nama “Rumah Makan Padang Sederhana” yang menjadi
merek dagang Bustaman. “Nama itu saya ambil dari restoran di Jambi
tempat saya dahulu bekerja sebagai pencuci piring,” cerita Bustaman.
“Istri yang menyarankan karena memang namanya mudah diingat.”
Sekarang ini, banyak sekali rumah makan padang yang mengatasnamakan
Sederhana. Rumah Makan Padang Sederhana milik Bustaman adalah yang
memiliki logo rumah Gadang dengan tulisan SA. Apakah Anda salah satu
pelanggannya? (Wiko Rahardjo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar