Senin, 11 November 2013

SUKSES...

Sukses. Ini kata yang sering kita dengar. Sesuatu yang diinginkan setiap orang di dunia ini. Untuk sukses setiap orang berusaha dan siap berkorban apa pun untuk mencapainya.

Lalu, apa itu sukses? Kita sering mendengar orang berkata si A sukses dan si B belum sukses. 
Kita juga sering mendengar seseorang dikatakan sukses apabila memiliki minimal salah satu dari berikut ini: harta yang banyak, atau nama harum, atau kekuasaan/pengaruh di masyarakat. 

Menjadi pengusaha kaya raya, penyanyi terkenal, pejabat tinggi adalah sekian contoh-contoh orang yang sukses. Demikianlah masyarakat mendefinisikan sukses, dan kita hidup dalam bayang-bayang menurut definisi masyarakat tersebut.

Lalu banyak di antara kita mulai menggambarkan sukses dengan meniru seperti orang lain. Padahal kita tidak mungkin menjadi orang lain. Apakah benar dengan menjadi orang kaya, terkenal, prestasi tinggi, kekuasaan tinggi sudah menjamin kita menjadi sukses?

Apakah demikian? Mungkin. Tetapi yang jelas, belum pernah saya mendengar ketika seseorang menjelang ajalnya, orang tersebut sibuk mentransfer uangnya ke rekening di akhirat. Atau mem'Fedex'kan barang-barang berharganya ke dunia sana. 
Atau dapat menawar kepada Sang Pencipta untuk menukar waktu lebih lama di dunia dengan pengaruh yang dimilikinya. 
Anda belum pernah mendengar juga, bukan.
John C, Maxwell dalam bukunya The Success Journey menyatakan bahwa sukses sejati bukanlah sesuatu yang bisa kita capai atau peroleh. 

Menurutnya sukses itu sebenarnya suatu perjalanan yang harus kita tempuh sepanjang hidup. 

Saya sependapat dengannya.
Menurut saya, sukses adalah perjalanan ke dalam. 
Sukses adalah perjalanan ke dalam diri kita yang paling dalam. 
Perjalanan ke dalam dimulai dengan menyadari hakekat kita sebagai manusia. 
Seperti benda dan makhluk hidup lain di alam semesta, semua mengalami perubahan, dari tidak ada menjadi ada, lalu tiada, kembali ke Sang Pencipta. 
Seperti bunga yang tumbuh dari benih kecil, berkembang dan mekar sesaat mewarnai hidup, lalu layu dan kembali ke tanah, lebih kurang demikian juga hidup kita. 

Sebuah perjalanan yang singkat.
Yang kita miliki hanya waktu, menghitung detak demi detak jantung. Sepanjang hidupnya seorang manusia dengan masa hidup 70 tahun hanya memiliki waktu 840 bulan, atau 25.200 hari, atau 604.800 jam, atau 36.288.000 menit. Begitu singkat, bukan.

Dengan mengerti hakekat hidup yang fana, kita mulai mencoba mengenali diri kita yang sebenarnya. Segala kelebihan dan kekurangan kita. 
Segala bakat istimewa yang dianugerahkan Sang Pencipta. Segala impian dari hati kita yang paling dalam. 
Segala dedikasi yang ingin kita berikan untuk orang-orang kita cintai dan dunia ini.

Yang kita memiliki adalah masa yang singkat di dunia ini. Dengan mengerti hakekat sebagai seorang manusia, menyukuri bakat dan anugerah yang diberikan Sang Pencipta dan mendedikasikan untuk orang lain akan membuat masa yang singkat ini menjadi masa yang bermanfaat bagi kita dan orang lain. Dan membuat detik-detik yang kita lalui menjadi sebuah perjalanan yang penuh makna.

Seorang teman yang saya kenal di MySpace mendeskripsikan sukses sebagai seorang manusia dengan begitu sederhana dan indah.
Your purpose is to find your gifts. Your meaning is to give them to others. That is success all about.

Saya ingin menutup artikel ini dengan ucapan Po Bronson: Failure's hard, but success is far more dangerous. If you are successful at the wrong thing, the mix of praise and money and opportunity can lock you in forever.

Jadi, hati-hati saat Anda mendefinisikan dan merencanakan sukses Anda. Jangan sampai kita sukses menurut ukuran orang lain, tetapi kita tidak pernah bahagia menjalaninya. Lalu bagaimana kita mendefinisikan sukses kita?

Anda yang memiliki previlise untuk melakukannya. Dan hati Anda yang memiliki jawabannya.

Penulis adalah trainer pengembangan diri di Jakarta (gimhok.com)

"Cerita di Balik Rumah Makan Padang Sederhana"

Inilah kisah sukses H. Bustaman, membangun bisnis franchise Rumah Makan Padang Sederhana.

Lahir dan dibesarkan di Lubuk Jantan, Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat, Bustaman remaja memutuskan untuk merantau ke Jambi pada 1955. Bagi masyarakat Minang, pergi keluar dari kampung kelahirannya sudah menjadi tradisi. Di Jambi, Bustaman yang hanya lulusan kelas dua sekolah rakyat (setara SD) mengadu nasib dengan bekerja apa saja. Mulai dari bekerja di kebun karet, menjual koran, mencuci piring di sebuah rumah makan hingga menjadi pedagang asongan.

Pada 1970, Bustaman rupanya tertantang mengadu nasib di ibu kota Jakarta. Padahal, ia baru saja dua tahun menikah dengan Fatimah dan dikaruniai seorang anak. "Saya ikut dengan adik ipar di daerah Matraman, Jakarta Pusat," tutur Bustaman. Pilihan saat itu adalah berdagang rokok dengan menggunakan gerobak di pinggir jalan.

Sebuah peristiwa yang melibatkan perseteruan antara etnis Minang dengan preman setempat pada 1975, membuat Bustaman terpaksa menyelamatkan diri dan keluarganya ke wilayah Pejompongan. “Pokoknya akibat peristiwa tersebut, kami suku Minang terancam keselamatannya,” tutur Bustaman. Di Pejompongan, Bustaman tetap membuka warung rokok selama 24 jam dengan penghasilan harian sebesar Rp2.000. “Padahal waktu di Matraman penghasilan saya bisa Rp8.000,” tambahnya.

Kondisi tersebut membuat Bustaman berpikir untuk mencari penghasilan tambahan dengan berjualan makanan. Ia lalu mencari lahan pinggir jalan di daerah Bendungan Hilir. “Saya menyewa lapak seluas satu kali satu meter di pinggir jalan seharga Rp3.000,” kata Bustaman. “Masalahnya, saya tidak bisa memasak, tetapi berbekal pengalaman pernah bekerja di rumah makan, saya belajar.”

Di hari pertama, dagangannya hanya menghasilkan omset Rp425 dari modal awal sebesar Rp13.000. “Saya juga mengutang beras, minyak dan beberapa kebutuhan lain kepada tetangga,” kata Bustaman. “Sialnya, hasil dagangan itu ludes dibawa lari pembantu baru kami.”

Peristiwa itu tidak lekas membuat Bustaman putus asa. Ia tetap menjalankan usaha warung kecilnya. Satu minggu kemudian ia berkenalan dengan pedagang masakan lain asal Solok, Sumatra, yang membuka warung di Bendungan Hilir. “Saya coba masakannya ternyata enak,” tutur Bustaman. “Saya lalu memberanikan diri berkenalan dengan pemasaknya dan meminta resep masakan.”

Dengan menu baru tersebut, warung kecil Bustaman semakin kedatangan banyak pelanggan. “Cobaan datang kembali saat terjadi penertiban pedagang kaki lima oleh Satpol PP,” cerita Bustaman. “Gerobak dagangan saya diangkut.”

Bustaman kemudian membuka kembali warung di lahan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Jakarta. “Harga beli lapaknya sebesar Rp750 per lapak,” kata Bustaman. “Saya beli dua lapak di lahan yang saya inginkan.”

Karena satu orang hanya boleh memiliki satu lapak, maka Bustaman meminjam nama pamannya untuk membeli lapak di sebelahnya. Warung Bustaman terus ramai didatangi pelanggan. Sedang asyik menikmati untung, cobaan datang lagi. “Kali ini masalah datang dari tante saya karena masalah utang piutang,” ujar Bustaman. “Awal membuka lapak baru saya memang meminjam uang sebesar Rp15.000 kepada Tante, tetapi itu sudah saya bayar,” tutur Bustaman. Urusan sengketa ini bahkan melibatkan kepolisian. “Rupanya Tante ingin memiliki lapak saya karena dilihatnya laris,” lanjutnya.

Bustaman akhirnya mengalah melepas lapak tersebut dan membeli lapak baru tepat di seberang lapak lama. Tuhan memang Maha Adil, warung barunya tetap lebih laris dari warung tantenya. “Baru sebentar menikmati rezeki, musibah datang kembali,” kata Bustaman. “Tempat tinggal saya di Pejompongan terbakar.”

Yang bisa diselamatkan Bustaman hanya istri, anak dan gerobak dagangnya. “Saya lalu tinggal di rumah salah satu suplier bahan masakan saya,” tutur Bustaman. Ia mulai menyewa kios ketika Pasar Bendungan Hilir dibangun pada 1974 dengan harga sewa Rp15.000. “Tahun 1975 saya membuka cabang di Roxy mas,” katanya.

Kini Bustaman sudah bisa menikmat hasil jerih payahnya. Rumah Makan Padang Sederhana miliknya sudah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia hingga Malaysia, baik atas nama sendiri maupun investor melalui sistem franchise.

Ada cerita unik di balik nama “Rumah Makan Padang Sederhana” yang menjadi merek dagang Bustaman. “Nama itu saya ambil dari restoran di Jambi tempat saya dahulu bekerja sebagai pencuci piring,” cerita Bustaman. “Istri yang menyarankan karena memang namanya mudah diingat.”

Sekarang ini, banyak sekali rumah makan padang yang mengatasnamakan Sederhana. Rumah Makan Padang Sederhana milik Bustaman adalah yang memiliki logo rumah Gadang dengan tulisan SA. Apakah Anda salah satu pelanggannya? (Wiko Rahardjo)